Minggu, 31 Oktober 2010

Apa Itu Desentralisasi dan Otoda

Masalah otonomi daerah hingga usia Republik Indonesia tercinta ini mencapai 50 tahun, masih merupakan topik hangat dan menarik bagi para elit strategis maupun bagi elite nonstruktural. Otonomi daerah merupakan fenomena politik yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi dan demokrasi. Lebih-lebih menjelang era perdagangan bebas menyongsong tahun 2020.

Desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Sejak tahun 1903 telah diperkenalkan adanya decentralisatie wet. Setelah kemerdekaan sampai dengan saat ini sekurang-kurangnya ada 6 undang-undang tentang otonomi daerah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa implementasi desentralisasi dan otonomi daerah belum bahkan tidak membawa daerah dan masyarakat daerah menjadi lebih baik dan maju secara signifikan.

Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya UU nomor 22 tahun 1999 untuk mencapai desentralisasi secara komprehensif akan sangat tergantung pada adanya saling percaya antara pemerintah dan masyarakatnya, adanya kemauan keras dari aparat birokrasi pemerintahan daerah untuk mengubah kultur yang selama ini dianut kearah kultur yang lebih demokratis, terbuka dan bertanggungjawab, serta adanya faktor kepemimpinan elit politik dan elit birokrasi yang “visioner” dan berwawasan kebangsaan dan kenegarawanan.

Bangsa dan negara kita Indonesia membutuhkan manusia-manusia yang handal, bermental pembangunan yang kreatif, mampu menggerakkan pembangunan dan tentunya memiliki kemampuan berpikir ke-depan dan bisa membawa bangsa besar ini kearah yang lebih baik “Visionary Leadership”.

Hak otonomi yang diperlukan sebagai landasan politik untuk memberikan peluang bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, belum dapat direalisasikan mengakibatkan daerah otonom selalu dalam kondisi dan posisi yang serba rikuh. Keadaan seperti ini tentu tidak dapat dipertahankan terus-menerus apabila kita ingin maju sesuai dengan perkembangan iptek yang cepat dalam era globalisasi, demikian dikatakan Yogie S. Memed dalam arahannya yang dibacakan oleh Kepala Balitbang Depdagri Rapiuddin Hamarung, SH dalam diskusi terbatas “Perwujudan Otonomi Daerah” di Jakarta belum lama ini.

Kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam rangka desentralisasi dan melaksanakan reformasi perundang-undangan dan politik adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah seperti yang tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999. Ini merupakan strategi baru dan paradigma baru dalam mewujudkan “Good Governance” atau penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih, berwibawa dan bertanggungjawab.

Segala macam upaya telah dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan daerah yang baik. Tentunya dengan melihat perspektif historis ketatanegaraan kita. Dengan melihat proses awal lahirnya UU Nomor 1 tahun 1945 sampai dengan paket kebijakan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Produk Masa Transisi
Secara realitas dan tentunya tidak dapat dipungkiri bahwasannya paket UU tersebut adalah produk kebijakan politik pada masa transisi yaitu dengan lahirnya desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan tersebut masih terdapat berbagai kelemahan apabila ditinjau dari tataran konsep dan operasional. Prof. Dr. E. Koeswara Kertapradja dalam orasi ilmiah pada saat pengukuhan sebagai Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta beberapa waktu yang lalu Koeswara menyoroti apakah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dituangkan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 itu, baik secara konsep akademik maupun secara operasional signifikan dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama dalam mewujudkan pemerintah daerah yang baik, bersih, berwibawa dan bertanggungjawab dan demokratis, dengan demikian terjadi pergeseran dari paradigma “Executive Heavy” kepada “Legislative Heavy”.

Dengan lahirnya UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 tersebut diyakini merupakan angin segar dan sangat menguntungkan daerah, karena sebagian besar kewenangan dan sumber keuangan telah diserahkan kepada daerah, hal tersebut bila ditinjau dari perspektif daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Pendapat dan lontaran dari berbagai kalangan terus dikumandangkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa UU Nomor 22 tahun 1999 itu terlalu luas memberikan kewenangan kepada daerah, sehingga dengan keleluasaan tersebut “discretionary power” yang diberikan kepada daerah, timbul kekawatiran akan adanya “disintegrasi” karena terjadi pengkotakan daerah.

Daerah yang merasa dirinya kuat dengan berbagai sumber daya yang ada, bisa saja akan tidak mau peduli terhadap daerah lainnya yang notabene daerah yang sangat dekat namun tidak banyak memiliki sumber daya yang memadai. Disini akan terjadi kesenjangan antar daerah dan laju pertumbuhan antar daerah, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya persatuan dan kesatuan bangsa.

Konstalasi adanya kesenjangan antara niat (willingness; political will) Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas desentralisasi dan otonomi daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik yang mendasari piranti perundang-undangan serta komitment politik pemerintah yang sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas desentralisasi.

Namun demikian sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang diharapkan. Disamping itu ada yang berpendapat bahwa dengan adanya otonomi daerah ini, dikawatirkan akan terjadi pemindahan birokrasi dari pusat ke daerah dengan segala akses-aksesnya, sehingga terkesan timbul adanya raja-raja kecil di daerah.

Setengah Hati
Disisi lain, UU ini masih dirasakan jauh dari harapan bersama, dan mempunyai kesan masih berbau “status quo”. pemerintah yang konon katanya adalah pemerintahan reformasi, ternyata dianggap belum reformis dalam memberikan otonomi kepada daerah, dengan kata lain pemberian otonomi ini masih setengah hati. Dimasa yang akan datang, otonomi daerah harus lebih didasarkan pada kemampuan fisik, yaitu suatu kemampuan membiayai dirinya sendiri untuk menyelenggarakan otonomi, karena tanpa itu otonomi tidak mungkin terselenggara dengan baik.

Rudini, mantan Mendagri dalam diskusi terbatas “Perwujudan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan Suara Pembaruan di Jakarta belum lama ini berkata, otonomi nyata dan bertanggungjawab, menurut UU Nomor 5 tahun 1974, dapat diartikan sebagai pemberian otonomi kepada daerah, haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan, tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.

Sedangkan otonomi bertanggungjawab adalah pemberian otonomi benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan serasi antara pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Apa lagi kalau kita perhatikan UU nomor 25 tahun 1999 dengan segala peraturan pelaksanaannya, dianggap masih terlalu berorientasi kepada pusat. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa UU nomor 22 dan 25 adalah UU yang telah mampu menjawab tuntutan masyarakat tentang perlunya demokrasi, desentralisasi dan otonomi.

Untuk diketahui bahwa sebagian juga beranggapan bahwa kedua UU itu juga merupakan sumber malapetaka bagi beberapa daerah tertentu bahkan bagi Indonesia sendiri, demikian diutarakan Pande Radja Silalahi dalam bukunya “Implemetasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pusat dan Pembangunan Ekonomi di Daerah” dalam Jurnal CSIS tahun XXXIX/2000, no 1 hal. 87. Menurutnya maraknya korupsi di daerah, baik yang dilakukan oleh para pejabat eksekutif, maupun anggota legislatif (DPRD) membuktikan kebenaran anggapan diatas.

Secara nasional pemerintah pusat yang telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 tahun 1999, justru merasa khawatir terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena sisa kewenangannya dibatasi. Demikian pula otonomi yang diberikan kepada daerah propinsi sangat terbatas dan hanya meliputi kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota.

Kewenangan Pemerintah
Bila dilihat dari jenis kewenangan itu sendiri, kewenangan pemerintah dapat dibedakan dalam 4 macam yaitu pengaturan, pengurusan, pembinaan dan pengawasan. Kalau kita menengok UU Nomor 5 tahun 1974, kewenangan pemerintah pusat hampir merata pada semua jenis kewenangan, mulai dari kewenangan pengaturan dalam arti membuat kebijakan sampai dengan kewenangan pengurusan dalam arti melaksanakan sendiri kebijakan tersebut. Kewenangan daerah kabupaten/kota dibidang otonomi daerah relatif terbatas karena sudah banyak dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat yang ada di daerah dalam rangka dekonsentrasi maupun tugas perbantuan. Pada UU Nomor 22 tahun 1999, kewenangan pemerintah pusat lebih banyak dibidang pengaturan, pembinaan serta pengawasan.

Kewenangan ini sebagian dapat didelegasikan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka efisiensi. Sedangkan kewenangan pengurusan yang bersifat operasional jumlahnya terbatas. Campo & Sundaram (2001) menegaskan bahwa di negara kesatuan terdapat asas “Great decentralization – strong central supervision”. Artinya desentralisasi yang luas kepada daerah harus disertai penyeliaan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan tujuan agar kewenangan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi digunakan untuk tujuan yang benar.

Menurut Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS, dosen STPDN, desentralisasi itu sendiri mempunyai 3 (tiga) tujuan pokok, yaitu tujuan politik, tujuan administrasi dan tujuan sosial ekonomi. Tujuan politik dari desentralisasi adalah membuat infrastruktur dan suprastruktur politik menjadi lebih demokratis dengan mengikutsertakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan pada tataran perumusan, evaluasi, implementasi dan pemanfaatan berbagai kebijakan publik.

Tujuan administrasi dari desentralisasi adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan. Sedangkan tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam bentuk pengurangan kemiskinan serta kesenjangan antar daerah. Tujuan tersebut kiranya perlu dicapai secara komprehensif, dalam arti pencapaian tujuan yang satu tidak boleh mengabaikan pencapaian tujuan yang lainnya.

Pengalaman desentralisasi pada masa lalu mengajarkan kepada kita sekalian bahwa ketimpangan pencapaian tujuan desentralisasi menimbulkan gangguan dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ataupun antara pemerintah dan masyarakatnya. MD/B2.

Sumber :
Mulyono Daniprawiro, SE, MM, MBA
(Kantor Berita Indonesia Gemari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar