Minggu, 31 Oktober 2010

 Penyebab pemanasan global


Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]

Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
 
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]

Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawaii.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.

Model iklim

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

Dampak pemanasan global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

Iklim Mulai Tidak Stabil

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badaii akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

Suhu global cenderung meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

Gangguan ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

Dampak sosial dan politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

Perdebatan tentang pemanasan global

Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22]
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Menghilangkan karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali.

Persetujuan internasional

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini diAmerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

 Sumber :
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Referensi :
  1. ^ a b c d Summary for Policymakers. (PDF) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 2 Februari 2007.
  2. ^ NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August 31, 2007.
  3. ^ a b Soden, Brian J., Held, Isacc M. (01-11-2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in Coupled Ocean-Atmosphere Models" (PDF). Journal of Climate 19 (14) Diakses pada 21 April 2007.
  4. ^ Stocker, Thomas F.; et al. 7.5.2 Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 11 Februari 2007.
  5. ^ Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare, J.K.B. Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl, D.A. Siegel, M.W. Silver, D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S. Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the ocean's twilight zone." Science 316: 567-570.
  6. ^ Marsh, Nigel, Henrik, Svensmark (November 2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" (PDF). Space Science Reviews 94: 215-230. DOI:10.1023/A:1026723423896 Diakses pada 17 April 2007.
  7. ^ Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12). Diakses pada 8 Mei 2007.
  8. ^ Hegerl, Gabriele C.; et al. Understanding and Attributing Climate Change. (PDF) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 20 Mei 2007. Kutipan: Recent estimates (Figure 9.9) indicate a relatively small combined effect of natural forcings on the global mean temperature evolution of the seconds half of the 20th century, with a small net cooling from the combined effects of solar and volcanic forcings.
  9. ^ Ammann, Caspar, et al. (06-04-2007). "Solar influence on climate during the past millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate Simulation Model". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 104 (10): 3713-3718.
  10. ^ Scafetta, Nicola, West, Bruce J. (09-03-2006). "Phenomenological solar contribution to the 1900-2000 global surface warming" (PDF). Geophysical Research Letters 33 (5). DOI:10.1029/2005GL025539. L05708 Diakses pada 8 Mei 2007.
  11. ^ Stott, Peter A., et al. (03-12-2003). "Do Models Underestimate the Solar Contribution to Recent Climate Change?". Journal of Climate 16 (24): 4079-4093. DOI:10.1175/1520-0442(2003)016%3C4079:DMUTSC%3E2.0.CO;2 Diakses pada 16 April 2007.
  12. ^ Foukal, Peter, et al. (14-09-2006). "Variations in solar luminosity and their effect on the Earth's climate.". Nature Diakses pada 16 April 2007.
  13. ^ Changes in Solar Brightness Too Weak to Explain Global Warming. National Center for Atmospheric Research. Diakses pada 13 Juli 2007.
  14. ^ Lockwood, Mike, Claus Fröhlich. "Recent oppositely directed trends in solar climate forcings and the global mean surface air temperature". Proceedings of the Royal Society A. DOI:10.1098/rspa.2007.1880 Diakses pada 21 Juli 2007.
  15. ^ http://www.ipcc.ch/ipccreports/ar4-syr.htm
  16. ^ Hansen, James Climatic Change: Understanding Global Warming. One World: The Health & Survival of the Human Species in the 21st Century. Health Press. Diakses pada 18 Agustus 2007.
  17. ^ Summary for Policymakers. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 28 April 2007.
  18. ^ Torn, Margaret, Harte, John (26-05-2006). "Missing feedbacks, asymmetric uncertainties, and the underestimation of future warming". Geophysical Research Letters 33 (10). L10703 Diakses pada 4 Maret 2007.
  19. ^ Harte, John, et al. (30-10-2006). "Shifts in plant dominance control carbon-cycle responses to experimental warming and widespread drought". Environmental Research Letters 1 (1). 014001 Diakses pada 2 Mei 2007.
  20. ^ Scheffer, Marten, et al. (26-05-2006]]). "Positive feedback between global warming and atmospheric CO2 concentration inferred from past climate change.". Geophysical Research Letters 33. DOI:10.1029/2005gl025044 Diakses pada 4 Mei 2007.
  21. ^ Stocker, Thomas F.; et al. 7.2.2 Cloud Processes and Feedbacks. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 4 Maret 2007.
  22. ^ a b Hart, John. "Global Warming." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

Apa itu Pemanasan Global


"Panas banget ya hari ini!” Seringkah Anda mendengar pernyataan tersebut terlontar dari orang-orang di sekitar Anda ataupun dari diri Anda sendiri? Anda tidak salah, data-data yang ada memang menunjukkan planet bumi terus mengalami peningkatan suhu yang mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Selain makin panasnya cuaca di sekitar kita, Anda tentu juga menyadari makin banyaknya bencana alam dan fenomena-fenomena alam yang cenderung semakin tidak terkendali belakangan ini. Mulai dari banjir, puting beliung, semburan gas, hingga curah hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun. Sadarilah bahwa semua ini adalah tanda-tanda alam yang menunjukkan bahwa planet kita tercinta ini sedang mengalami proses kerusakan yang menuju pada kehancuran! Hal ini terkait langsung dengan isu global yang belakangan ini makin marak dibicarakan oleh masyarakat dunia yaitu Global Warming (Pemanasan Global). Apakah pemanasan global itu? Secara singkat pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Pertanyaannya adalah: mengapa suhu permukaan bumi bisa meningkat?
Penyebab Pemanasan Global
Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik.
Apa itu Gas Rumah Kaca?
Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah “gas rumah kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang cukup. Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-rata -32o Celcius.
Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbedabeda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.
 
Apa Penyebab Utama Pemanasan Global?
Dalam laporan PBB (FAO) yang berjudul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options (Dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi gas rumah kaca industri peternakan meliputi 9 % karbon dioksida, 37% gas metana (efek pemanasannya 72 kali lebih kuat dari CO2), 65 % nitro oksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat dari CO2), serta 64% amonia penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari seluruh permukaan tanah kering di Bumi dan 33% dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak. Peternakan juga penyebab dari 80% penggundulan Hutan Amazon.
Sedangkan laporan yang baru saja dirilis World Watch Institut menyatakan bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya 51 persen dari pemanasan global.
Penulisnya, Dr. Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang, membuatnya berdasarkan “Bayangan Panjang Peternakan”, laporan yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Mereka menghitung bidang yang sebelumnya  dan memperbarui hal lainnya, termasuk siklus hidup emisi produksi ikan yang diternakkan, CO2 dari pernapasan hewan, dan koreksi perhitungan sebenarnya yang menghasilkan lebih dari dua kali lipat jumlah hewan ternak yang dilaporkan di planet ini.
Emisi metana dari hewan ternak juga berperan sebesar 72 kali lebih dalam menyerap panas di atmosfer daripada CO2. Hal ini mewakili kenaikan yang lebih akurat dari perhitungan asli FAO dengan potensi pemanasan sebesar 23 kali. Meskipun demikian, para peneliti itu memberitahu bahwa perkiraan mereka adalah minimal, dan karena itu total emisi 51 persen masih konservatif.

Sumber :
http://www.pemanasanglobal.net/faq/apa-itu-pemanasan-global.htm
Apa Itu Desentralisasi dan Otoda

Masalah otonomi daerah hingga usia Republik Indonesia tercinta ini mencapai 50 tahun, masih merupakan topik hangat dan menarik bagi para elit strategis maupun bagi elite nonstruktural. Otonomi daerah merupakan fenomena politik yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi dan demokrasi. Lebih-lebih menjelang era perdagangan bebas menyongsong tahun 2020.

Desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Sejak tahun 1903 telah diperkenalkan adanya decentralisatie wet. Setelah kemerdekaan sampai dengan saat ini sekurang-kurangnya ada 6 undang-undang tentang otonomi daerah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa implementasi desentralisasi dan otonomi daerah belum bahkan tidak membawa daerah dan masyarakat daerah menjadi lebih baik dan maju secara signifikan.

Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya UU nomor 22 tahun 1999 untuk mencapai desentralisasi secara komprehensif akan sangat tergantung pada adanya saling percaya antara pemerintah dan masyarakatnya, adanya kemauan keras dari aparat birokrasi pemerintahan daerah untuk mengubah kultur yang selama ini dianut kearah kultur yang lebih demokratis, terbuka dan bertanggungjawab, serta adanya faktor kepemimpinan elit politik dan elit birokrasi yang “visioner” dan berwawasan kebangsaan dan kenegarawanan.

Bangsa dan negara kita Indonesia membutuhkan manusia-manusia yang handal, bermental pembangunan yang kreatif, mampu menggerakkan pembangunan dan tentunya memiliki kemampuan berpikir ke-depan dan bisa membawa bangsa besar ini kearah yang lebih baik “Visionary Leadership”.

Hak otonomi yang diperlukan sebagai landasan politik untuk memberikan peluang bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, belum dapat direalisasikan mengakibatkan daerah otonom selalu dalam kondisi dan posisi yang serba rikuh. Keadaan seperti ini tentu tidak dapat dipertahankan terus-menerus apabila kita ingin maju sesuai dengan perkembangan iptek yang cepat dalam era globalisasi, demikian dikatakan Yogie S. Memed dalam arahannya yang dibacakan oleh Kepala Balitbang Depdagri Rapiuddin Hamarung, SH dalam diskusi terbatas “Perwujudan Otonomi Daerah” di Jakarta belum lama ini.

Kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam rangka desentralisasi dan melaksanakan reformasi perundang-undangan dan politik adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah seperti yang tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999. Ini merupakan strategi baru dan paradigma baru dalam mewujudkan “Good Governance” atau penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih, berwibawa dan bertanggungjawab.

Segala macam upaya telah dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan daerah yang baik. Tentunya dengan melihat perspektif historis ketatanegaraan kita. Dengan melihat proses awal lahirnya UU Nomor 1 tahun 1945 sampai dengan paket kebijakan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Produk Masa Transisi
Secara realitas dan tentunya tidak dapat dipungkiri bahwasannya paket UU tersebut adalah produk kebijakan politik pada masa transisi yaitu dengan lahirnya desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan tersebut masih terdapat berbagai kelemahan apabila ditinjau dari tataran konsep dan operasional. Prof. Dr. E. Koeswara Kertapradja dalam orasi ilmiah pada saat pengukuhan sebagai Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta beberapa waktu yang lalu Koeswara menyoroti apakah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dituangkan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 itu, baik secara konsep akademik maupun secara operasional signifikan dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama dalam mewujudkan pemerintah daerah yang baik, bersih, berwibawa dan bertanggungjawab dan demokratis, dengan demikian terjadi pergeseran dari paradigma “Executive Heavy” kepada “Legislative Heavy”.

Dengan lahirnya UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 tersebut diyakini merupakan angin segar dan sangat menguntungkan daerah, karena sebagian besar kewenangan dan sumber keuangan telah diserahkan kepada daerah, hal tersebut bila ditinjau dari perspektif daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Pendapat dan lontaran dari berbagai kalangan terus dikumandangkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa UU Nomor 22 tahun 1999 itu terlalu luas memberikan kewenangan kepada daerah, sehingga dengan keleluasaan tersebut “discretionary power” yang diberikan kepada daerah, timbul kekawatiran akan adanya “disintegrasi” karena terjadi pengkotakan daerah.

Daerah yang merasa dirinya kuat dengan berbagai sumber daya yang ada, bisa saja akan tidak mau peduli terhadap daerah lainnya yang notabene daerah yang sangat dekat namun tidak banyak memiliki sumber daya yang memadai. Disini akan terjadi kesenjangan antar daerah dan laju pertumbuhan antar daerah, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya persatuan dan kesatuan bangsa.

Konstalasi adanya kesenjangan antara niat (willingness; political will) Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas desentralisasi dan otonomi daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik yang mendasari piranti perundang-undangan serta komitment politik pemerintah yang sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas desentralisasi.

Namun demikian sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang diharapkan. Disamping itu ada yang berpendapat bahwa dengan adanya otonomi daerah ini, dikawatirkan akan terjadi pemindahan birokrasi dari pusat ke daerah dengan segala akses-aksesnya, sehingga terkesan timbul adanya raja-raja kecil di daerah.

Setengah Hati
Disisi lain, UU ini masih dirasakan jauh dari harapan bersama, dan mempunyai kesan masih berbau “status quo”. pemerintah yang konon katanya adalah pemerintahan reformasi, ternyata dianggap belum reformis dalam memberikan otonomi kepada daerah, dengan kata lain pemberian otonomi ini masih setengah hati. Dimasa yang akan datang, otonomi daerah harus lebih didasarkan pada kemampuan fisik, yaitu suatu kemampuan membiayai dirinya sendiri untuk menyelenggarakan otonomi, karena tanpa itu otonomi tidak mungkin terselenggara dengan baik.

Rudini, mantan Mendagri dalam diskusi terbatas “Perwujudan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan Suara Pembaruan di Jakarta belum lama ini berkata, otonomi nyata dan bertanggungjawab, menurut UU Nomor 5 tahun 1974, dapat diartikan sebagai pemberian otonomi kepada daerah, haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan, tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.

Sedangkan otonomi bertanggungjawab adalah pemberian otonomi benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan serasi antara pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Apa lagi kalau kita perhatikan UU nomor 25 tahun 1999 dengan segala peraturan pelaksanaannya, dianggap masih terlalu berorientasi kepada pusat. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa UU nomor 22 dan 25 adalah UU yang telah mampu menjawab tuntutan masyarakat tentang perlunya demokrasi, desentralisasi dan otonomi.

Untuk diketahui bahwa sebagian juga beranggapan bahwa kedua UU itu juga merupakan sumber malapetaka bagi beberapa daerah tertentu bahkan bagi Indonesia sendiri, demikian diutarakan Pande Radja Silalahi dalam bukunya “Implemetasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pusat dan Pembangunan Ekonomi di Daerah” dalam Jurnal CSIS tahun XXXIX/2000, no 1 hal. 87. Menurutnya maraknya korupsi di daerah, baik yang dilakukan oleh para pejabat eksekutif, maupun anggota legislatif (DPRD) membuktikan kebenaran anggapan diatas.

Secara nasional pemerintah pusat yang telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 tahun 1999, justru merasa khawatir terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena sisa kewenangannya dibatasi. Demikian pula otonomi yang diberikan kepada daerah propinsi sangat terbatas dan hanya meliputi kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota.

Kewenangan Pemerintah
Bila dilihat dari jenis kewenangan itu sendiri, kewenangan pemerintah dapat dibedakan dalam 4 macam yaitu pengaturan, pengurusan, pembinaan dan pengawasan. Kalau kita menengok UU Nomor 5 tahun 1974, kewenangan pemerintah pusat hampir merata pada semua jenis kewenangan, mulai dari kewenangan pengaturan dalam arti membuat kebijakan sampai dengan kewenangan pengurusan dalam arti melaksanakan sendiri kebijakan tersebut. Kewenangan daerah kabupaten/kota dibidang otonomi daerah relatif terbatas karena sudah banyak dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat yang ada di daerah dalam rangka dekonsentrasi maupun tugas perbantuan. Pada UU Nomor 22 tahun 1999, kewenangan pemerintah pusat lebih banyak dibidang pengaturan, pembinaan serta pengawasan.

Kewenangan ini sebagian dapat didelegasikan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka efisiensi. Sedangkan kewenangan pengurusan yang bersifat operasional jumlahnya terbatas. Campo & Sundaram (2001) menegaskan bahwa di negara kesatuan terdapat asas “Great decentralization – strong central supervision”. Artinya desentralisasi yang luas kepada daerah harus disertai penyeliaan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan tujuan agar kewenangan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi digunakan untuk tujuan yang benar.

Menurut Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS, dosen STPDN, desentralisasi itu sendiri mempunyai 3 (tiga) tujuan pokok, yaitu tujuan politik, tujuan administrasi dan tujuan sosial ekonomi. Tujuan politik dari desentralisasi adalah membuat infrastruktur dan suprastruktur politik menjadi lebih demokratis dengan mengikutsertakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan pada tataran perumusan, evaluasi, implementasi dan pemanfaatan berbagai kebijakan publik.

Tujuan administrasi dari desentralisasi adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan. Sedangkan tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam bentuk pengurangan kemiskinan serta kesenjangan antar daerah. Tujuan tersebut kiranya perlu dicapai secara komprehensif, dalam arti pencapaian tujuan yang satu tidak boleh mengabaikan pencapaian tujuan yang lainnya.

Pengalaman desentralisasi pada masa lalu mengajarkan kepada kita sekalian bahwa ketimpangan pencapaian tujuan desentralisasi menimbulkan gangguan dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ataupun antara pemerintah dan masyarakatnya. MD/B2.

Sumber :
Mulyono Daniprawiro, SE, MM, MBA
(Kantor Berita Indonesia Gemari)

Rabu, 27 Oktober 2010

Penunjukan Auditor Independen

SA Seksi 310
PENUNJUKAN AUDITOR INDEPENDEN

 Sumber: PSA No. 05

PENDAHULUAN
     01 Standar pekerjaan lapangan pertama berbunyi sebagai berikut: 
“Pekerjaan  harus  direncanakan  dengan  sebaik-baiknya  dan  jika  digunakan  asisten  harus  disupervisi dengan semestinya. " 
     02 Aspek supervisi asisten dijelaskan dalam SA Seksi 210 [PSA No. 04] Pelatihan dan Keahlian Auditor Independen dan SA Seksi 311  [PSA No. 05]  Perencanaan dan Supervisi. Aspek perencanaan pekerjaan lapangan  dan  saat  pelaksanaan  prosedur  audit  dijelaskan  dalam  SA Seksi  313  [PSA No.  02] Pengujian Substantif Sebelum Tanggal Neraca.

PENUNJUKAN  AUDITOR  INDEPENDEN 
     03  Pertimbangan  atas  standar  pekerjaan  lapangan  pertama memicu  kesadaran  bahwa  penunjukan
auditor  independen secara dini akan memberikan banyak manfaat  bagi auditor maupun klien. Penunjukan
secara  dini  memungkinkan  auditor  merencanakan  pekerjaannya  sedemikian  rupa  sehingga  pekerjaan
tersebut  dapat  dilaksanakan  dengan  cepat  dan  efisien serta dapat menentukan  seberapa  jauh pekerjaan
tersebut dapat dilaksanakan sebelum tanggal neraca.

PENUNJUKAN  AUDITOR  INDEPENDEN  MENDEKATI  ATAU  SETELAH  TANGGAL
AKHIR  PERIODE 
     04 Walaupun  penunjukan  dini  lebih  baik,  auditor  independen  dapat menerima perikatan pada saat
mendekati atau setelah  tanggal neraca. Dalam hal  ini, sebelum menerima perikatan,  auditor  harus yakin apakah kondisi seperti  itu memungkinkan  ia melaksanakan audit secara memadai dan memberi pendapat
wajar  tanpa pengecualian. Jika kondisi  tersebut  tidak memungkinkan auditor untuk melakukan audit  secara
memadai  dan  untuk  memberi  pendapat  wajar  tanpa  pengecualian,  ia  harus membahas  dengan  klien
tentang kemungkinan ia memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau  tidak memberikan pendapat. Kadang-kadang keterbatasan  audit  yang  timbul  sebagai  akibat  kondisi  di  atas  dapat  diatasi.  Sebagai  contoh, penghitungan  fisik  sediaan  dapat  ditunda  atau  dilakukan  kembali  di  bawah  pengamatan auditor independen.  

MEMBANGUN PEMAHAMAN DENGAN KLIEN 
     05Auditor  harus  membangun  pemahaman  dengan  klien  tentang  jasa  yang  akan dilaksanakan  untuk  setiap  perikatan.(1)Pemahaman  tersebut  mengurangi  risiko  terjadinya  salah interpretasi kebutuhan atau harapan pihak lain, baik di pihak auditor maupun klien. Sebagai contoh, pemahaman  tersebut  akan mengurangi  risiko bahwa klien dapat  secara  tidak semestinya mempercayai auditor  untuk melindungi entitas dari  risiko  tertentu  atau  untuk melaksanakan  fungsi  tertentu  yang merupakan  tanggung  jawab  klien. Pemahaman  tersebut  harus mencakup  tujuan  perikatan,  tanggung jawab  manajemen, tanggungjawab auditor,  dan  batasan  perikatan.(2)Auditor  harus mendokumentasikan  pemahaman  tersebut  dalam  kertas kerjanya,  lebih  baik  dalam  bentuk komunikasi  tertulis dengan klien. Jika auditor yakin bahwa pemahaman dengan klien belum  terbentuk, ia harus menolak untuk menerima atau menolak untuk melaksanakan perikatan. 
     06  Pemahaman  dengan  klien  tentang  audit  atas  laporan  keuangan  umumnya mencakup  hal-hal berikut ini:
a.  Tujuan audit adalah untuk menyatakan suatu pendapat atas laporan keuangan.
b.  Manajemen bertanggung  jawab untuk membangun dan mempertahankan pengendalian  intern yang efektif terhadap pelaporan keuangan
c.  Manajemen  bertangung  jawab  untuk  mengidentifikasi dan menjamin bahwa entitas mematuhi peraturan perundangan yang berlaku terhadap aktivitasnya.
d.  Manajemen  bertanggung jawab untuk membuat semua catatan keuangan dan informasi yang berkaitan tersedia bagi auditor.
e.  Pada akhir perikatan,  manajemen akan menyediakan suatu surat bagi auditor yang menegaskan representasi tertentu yang dibuat selama audit berlangsung.
_____________________________

(1)Lihat Pernyataan Standar Pengendalian Mutu No. 02  [SPM  Seksi  20]  Sistem Pengendal ian Mutu untuk Praktik Akuntansi dan Auditing Kantor Akuntan Publik paragraf 16.
(2)Tujuan perikatan tertentu mungkin berbeda. Pemahaman harus mencerminkan dampak tujuan tersebut terhadap tanggung jawab manajemen dan auditor, dan terhadap batasan perikatan. Berikut ini disajikan contoh: 
a. Review atas informasi keuangan interim (lihat  SAT Seksi 400  (PSAT  No.01 ) Informasi  Keuangan Interim,paragraf 09).
b. Audit atas penerima bantuan keuangan pemerintah (lihat SA Seksi 801 [PSA No.62] Pertimbangan Audit Kepatuhan dalam Audit atas Entitas Pemerintah dan Penerima Bantuan Keuangan Pemerintah, paragraf 10).
c.  Penerapan prosedur yang disepakati bersama terhadap unsur, akun, atau pos tertentu suatu  laporan keuangan (lihat SA Seksi 622  [PSA No. 51]  Perikatan  untuk Menerapkan Prosedur  yang Disepakati Bersama  terhadap Unsur.Akun, atau Pos tertentu Suatu Laporan Keuangan, paragraf 03).

                                                                

Standar Profesional Akuntan Publik
  
f.  Auditor bertanggung jawab untuk melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan  Akuntan  Indonesia. Standar tersebut mensyaratkan bahwa auditor memperoleh  keyakinan memadai, bukan  mutlak, tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh  karena  itu, salah saji material mungkin akan  tetap tidak  terdeteksi.Begitu  pula,  suatu  audit  tidak  didesain  untuk mendeteksi  kekeliruan  atau  kecurangan  yang  tidak material terhadap laporan keuangan. Jika, oleh karena sebab apa  pun, auditor tidak  dapat menyelesaikan  auditnya atau tidak dapat merumuskan atau tidak merumuskan suatu pendapat, ia dapat menolak menyatakan suatu pendapat atau menolak untuk menerbitkan suatu laporan sebagai hasil perikatan tersebut.
g.  Suatu audit mencakup pemerolehan pemahaman atas pengendalian intern yang cukup untuk merencanakan audit dan untuk menentukan  sifat, saat, dan luasnya prosedur audit  yang harus dilaksanakan.  Suatu  audit  tidak didesain untuk memberikan keyakinan atas pengendalian intern atau untuk mengidentifikasi semua kondisi yang dapat dilaporkan. Namun, auditor bertanggung  jawab untuk menjamin bahwa komite audit atau  pihak lain yang  memiliki kewenangan dan tanggung  jawab setara akan menyadari adanya kondisi yang dapat dilaporkan yang diketahui oleh auditor.
Hal-hal  tersebut di atas dapat dikomunikasikan dalam bentuk surat perikatan (engagement letter).
  
     07 Pemahaman dengan klien  juga mencakup hal-hal  lain seperti berikut  ini:
a.  Pengaturan  mengenai  pelaksanaan  perikatan  (sebagai  contoh,  waktu,  bantuan  klien berkaitan dengan pembuatan skedul, dan penyediaan dokumen).
b.  Pengaturan tentang keikutsertaan spesialis atau auditor intern, jika diperlukan.
c.  Pengaturan tentang keikutsertaan auditor pendahulu.
d.  Pengaturan tentang fee dan penagihan.
e.  Adanya pembatasan atau pengaturan  lain  tentang kewaj iban auditor atau klien, seperti ganti  rugi kepada  auditor  untuk  kewajiban  yang  timbul  dari  representasi  salah  yang  dilakukan  dengan sepengetahuan manajemen kepada auditor.
f.  Kondisi yang memungkinkan pihak lain diperbolehkan untuk melakukan akses ke kertas kerja auditor.
g.  Jasa tambahan yang disediakan oleh auditor berkaitan dengan pemenuhan persyaratan badan pengatur.
h.  Pengaturan tentang jasa lain yang harus disediakan oleh auditor dalam hubungannya denganperikatan.

__________________________

(3)Untuk perusahaan yang efeknya terdaftar di pasar modal, kondisi yang perlu dilaporkan, yang diketahui oleh auditor, mencakup informasi yang disyaratkan dalam peraturan perundangan pasar modal yang berlaku. 
                                                                           
 

TANGGAL  BERLAKU  EFEKTI F 
     08  Seksi ini  berlaku efektif  tanggal 1 Agustus 2001.Penerapan lebih awal dari tanggal efektif berlakunya  aturan dalam Seksi ini diizinkan. Masa transisi ditetapkan mulai dari 1 Agustus 2001 sampai dengan 31Desember 2001. Dalam masa transisi  tersebut berlaku standar yang  terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Agustus 1994 dan Standar Profesional Akuntan Publik per 1Januari 2001. Setelah tanggal 31 Desember 2001, hanya ketentuan dalam Seksi ini yang berlaku.
                                                                           
Sumber :
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

Minggu, 24 Oktober 2010